Pada bulan Agustus yang lalu, pemerintah Indonesia menandatangani kesepakatan untuk membeli beras dari Kamboja dengan volume 100.000 ton per tahun dalam jangka waktu 5 tahun kedepan. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia mulai dilanda krisis pangan, khususnya beras. Coba bayangkan rata-rata konsumsi beras Indonesia adalah sebesar 140 kg per orang per tahun, tentu sangat jauh berbeda dengan Vietnam, Thailand dan Malaysia yang hanya 65-70 kg.

Indonesia sangat kaya dengan para lulusan pertanian,tentu diharapkan dapat menangani krisis pangan ini. Pengembangan sumber daya manusia dan pengolahan SDA sangat dibutuhkan untuk mengatasi krisis pangan dimasa yang akan datang. Bioteknologi merupakan salah satu jalan keluar dalam menghadapi krisi pangan dunia. Rekayasa genetika tanaman pangan menjadi jawaban terhadapa permasalahan iklim global, krisis air dan mengurangi dampak kerusakan lingkungan.

Dalam beberapa tahun terakhir, iklim tidak bisa diprediksi, kekeringan dan banjir menjadi momok petani karen karena menyebabkan gagal panen. Rekayasa genetika diharapkan mampu menjawab persoalan ini, karena kemungkinan untuk mendapatkan tanaman pangan yang tahan perubahan iklim sangat besar. Di beberapa negara seperti Jepang dan Thailand, penggunaan bioteknologi sudah dimanfaatkan petani. Hal ini sangat menguntungkan secara ekonomis karena meningkatnya hasil produksi pangan, pengurangan biaya pestisida dan berdampak positif bagi lingkungan. Jika teknologi ini dikembangkan oleh sarjana pertanian kita, tentu Indonesia akan mampu swasembada beras dan mampu menghadapi krisis pangan global.